Nasib Peninggalan Bersejarah saat ini
>> Sabtu, 23 Januari 2010
Di negeri yang tergila-gila mal, plasa, trade centre ini, pusaka budaya tidak dilirik, tidak penting karena tidak menggemukan kocek otoritas terkait.
MAGNA Plaza, sebuah bangunan megah bergaya gothic berdiri di tengah kota Amsterdam. Bangunan dari akhir abad 19 ini semula adalah kantor pos pusat yang kemudian di tahun 1990-an disulap jadi mal pertama di Amsterdam. Meski banyak warga Amsterdam tak suka pada arsitektur bangunan tersebut tapi tak berarti bangunan itu pantas dirobohkan. Setidaknya ingatan inilah yang tiba-tiba melesat lewat di benak saya ketika menerima kabar di Jumat malam lalu, sebuah kabar yang jamak terjadi di negeri ini. Bangunan tua, bangunan bersejarah di Pangkalpinang segera dirobohkan demi sebuah bangunan baru, demi sebuah mal.
Adalah Melly Suwandhani, keturunan si pembuat Hebe - demikian gedung bioskop itu biasa disebut - yang berupaya mencegah bioskop dari tahun 1917 itu dirobohkan. Melly berkisah, "Bioskop itu biasa juga disebut Bioskop Banteng. Sudah lama bangunan itu mau dirobohkan, mau dibangun mal. Pemerintah kota beralasan, itu bukan bangunan cagar budaya (BCB), pokoknya tetap akan dirobohkan tanggal 20-21 Januari ini."
Jawaban Walikota Pangkalpinang Zulkarnain Karim, memang cukup menyentak logika dan rasa budaya serta kesejarahan kota yang dipimpinnya. Ketika saya temukan dalam berita Persda Network, Bangka Pos, Zulkarnain menyatakan seolah-olah pembangunan Bangka Trade Centre (BTC) terganjal gara-gara tuntutan warga agar Bioskop Banteng tak dirobohkan. Ia juga menegaskan, Hebe bukanlah BCB, kalaupun BCB, demi kepentingan umum, tetap akan dibongkar.
Alasan Zulkarnain selanjutnya lebih tak masuk akal lagi, "Saya ingin mengingatkan bahwa secara politis Bioskop Banteng itu ada kaitannya dengan trauma masa lalu. Orang-orang zaman dulu pasti tahu, bioskop itu untuk apa dulu." Kutipan itu sengaja saya kutip kembali dari Bangka Pos.
Sang walikota barangkali buta apa itu makna sejarah dan peninggalan budaya, sehitam apapun itu. Pasalnya, saya belum mendapat jawaban tentang masa lalu bioskop tersebut. Sebagai tempat mesumkah? Judikah? Apapun, gedung itu jelas- jelas berfungsi sebagai bioskop di tahun 1917. Entah sampai kapan bioskop itu terpelihara dan berfungsi menjadi bioskop. Intinya, gedung itu layak dipertahankan sebagai tonggak kebudayaan, dalam hal ini perfilman di Bangka Belitung khususnya Pangkalpinang.
Jika alasannya demi kepentingan umum, maka logika mana yang digunakan Pak Walikota ini, saya tak paham. Kepentingan umum adalah jika bangunan ini dipertahankan, dilestarikan, difungsikan kembali demi generasi muda dan penerus yang ingin tahu jejak sejarah kotanya, budaya kota mereka. Itulah kepentingan umum. Seberapa mendesak keberadaan BTC dibandingkan pusaka budaya bernama Hebe itu bagi warga?
Saya tak hendak mempersoalkan alasan kekuatan hukum perkara penetapan Hebe sebagai BCB. Saya cuma ingin mengingatkan pemerintah Pangkalpinang, sejak tahun 1992 sudah ada UU No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dari sana, pemerintah daerah kemudian bisa mengadakan penelusuran kawasan atau bangunan atau apapun yang ingin mereka pertahankan berdasarkan usia, nilai sejarah, keunikan arsitektur, dan beberapa hal lain yang saya yakin sudah dipahami pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang ada di masing-masing daerah di Indonesia dan UU tadi sudah bisa jadi pijakan.
Kasus seperti ini bukanlah yang pertama dan pastinya bukan yang terakhir. Kepentingan, dalam hal ini apalagi kalau bukan kepentingan atas segepok uang, mengalahkan segala-galanya. Keuntungan hanya dinilai dari uang segar yang segera akan masuk kantong, bukan dalam bentuk ilmu, wawasan, pegangan hidup generasi penerus. Di negeri yang tergila-gila mal, plasa, trade centre, square, dan berbagai lagak istilah lain yang digunakan – padahal intinya ya mal atau pusat belanja – pusaka budaya tak sempat dilirik. Tak penting sebab tak menggemukkan kocek otoritas terkait.
Belum terlalu kabur dalam ingatan warga Jabodetabek, khususnya Tangerang, bagaimana sebuah rumah bersejarah di Karawaci “dimutilasi”. Bangunan dari awal abad 18 milik Oei Djie San bergaya Indische dan China itu kini jadi resto siap saji khusus burger. Kasus serupa terjadi sejak Indonesia merdeka. Di Jakarta saja, tak terhitung jumlahnya.
Dalam urusan pelestarian pusaka budaya, kota-kota di negara maju - bahkan kota-kota di Indonesia yang sadar diri sebagai Kota Pusaka - sudah mulai memikirkan dan mempraktikkan adaptive reuse (memfungsikan kembali) pada bangunan bersejarah dan bukannya menghancurkan (demolition). Negara maju jelas sudah lebih melek soal pelestarian heritage. Bukan hanya mempertahankan bangunan, dengan adaptive reuse pemerintah dan warga juga akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi.
Jadi apapun bangunannya, apapun sejarah di balik bangunan itu, apalagi jika terbengkalai, usaha memugar dan memfungsikan kembali bangunan terkait merupakan sebuah usaha pembangunan yang positif. Pasalnya, dengan menghancurkan bangunan bersejarah, kita ikut menghancurkan identitas, karakter, dan sejarah kota.
MAGNA Plaza, sebuah bangunan megah bergaya gothic berdiri di tengah kota Amsterdam. Bangunan dari akhir abad 19 ini semula adalah kantor pos pusat yang kemudian di tahun 1990-an disulap jadi mal pertama di Amsterdam. Meski banyak warga Amsterdam tak suka pada arsitektur bangunan tersebut tapi tak berarti bangunan itu pantas dirobohkan. Setidaknya ingatan inilah yang tiba-tiba melesat lewat di benak saya ketika menerima kabar di Jumat malam lalu, sebuah kabar yang jamak terjadi di negeri ini. Bangunan tua, bangunan bersejarah di Pangkalpinang segera dirobohkan demi sebuah bangunan baru, demi sebuah mal.
Adalah Melly Suwandhani, keturunan si pembuat Hebe - demikian gedung bioskop itu biasa disebut - yang berupaya mencegah bioskop dari tahun 1917 itu dirobohkan. Melly berkisah, "Bioskop itu biasa juga disebut Bioskop Banteng. Sudah lama bangunan itu mau dirobohkan, mau dibangun mal. Pemerintah kota beralasan, itu bukan bangunan cagar budaya (BCB), pokoknya tetap akan dirobohkan tanggal 20-21 Januari ini."
Jawaban Walikota Pangkalpinang Zulkarnain Karim, memang cukup menyentak logika dan rasa budaya serta kesejarahan kota yang dipimpinnya. Ketika saya temukan dalam berita Persda Network, Bangka Pos, Zulkarnain menyatakan seolah-olah pembangunan Bangka Trade Centre (BTC) terganjal gara-gara tuntutan warga agar Bioskop Banteng tak dirobohkan. Ia juga menegaskan, Hebe bukanlah BCB, kalaupun BCB, demi kepentingan umum, tetap akan dibongkar.
Alasan Zulkarnain selanjutnya lebih tak masuk akal lagi, "Saya ingin mengingatkan bahwa secara politis Bioskop Banteng itu ada kaitannya dengan trauma masa lalu. Orang-orang zaman dulu pasti tahu, bioskop itu untuk apa dulu." Kutipan itu sengaja saya kutip kembali dari Bangka Pos.
Sang walikota barangkali buta apa itu makna sejarah dan peninggalan budaya, sehitam apapun itu. Pasalnya, saya belum mendapat jawaban tentang masa lalu bioskop tersebut. Sebagai tempat mesumkah? Judikah? Apapun, gedung itu jelas- jelas berfungsi sebagai bioskop di tahun 1917. Entah sampai kapan bioskop itu terpelihara dan berfungsi menjadi bioskop. Intinya, gedung itu layak dipertahankan sebagai tonggak kebudayaan, dalam hal ini perfilman di Bangka Belitung khususnya Pangkalpinang.
Jika alasannya demi kepentingan umum, maka logika mana yang digunakan Pak Walikota ini, saya tak paham. Kepentingan umum adalah jika bangunan ini dipertahankan, dilestarikan, difungsikan kembali demi generasi muda dan penerus yang ingin tahu jejak sejarah kotanya, budaya kota mereka. Itulah kepentingan umum. Seberapa mendesak keberadaan BTC dibandingkan pusaka budaya bernama Hebe itu bagi warga?
Saya tak hendak mempersoalkan alasan kekuatan hukum perkara penetapan Hebe sebagai BCB. Saya cuma ingin mengingatkan pemerintah Pangkalpinang, sejak tahun 1992 sudah ada UU No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dari sana, pemerintah daerah kemudian bisa mengadakan penelusuran kawasan atau bangunan atau apapun yang ingin mereka pertahankan berdasarkan usia, nilai sejarah, keunikan arsitektur, dan beberapa hal lain yang saya yakin sudah dipahami pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang ada di masing-masing daerah di Indonesia dan UU tadi sudah bisa jadi pijakan.
Kasus seperti ini bukanlah yang pertama dan pastinya bukan yang terakhir. Kepentingan, dalam hal ini apalagi kalau bukan kepentingan atas segepok uang, mengalahkan segala-galanya. Keuntungan hanya dinilai dari uang segar yang segera akan masuk kantong, bukan dalam bentuk ilmu, wawasan, pegangan hidup generasi penerus. Di negeri yang tergila-gila mal, plasa, trade centre, square, dan berbagai lagak istilah lain yang digunakan – padahal intinya ya mal atau pusat belanja – pusaka budaya tak sempat dilirik. Tak penting sebab tak menggemukkan kocek otoritas terkait.
Belum terlalu kabur dalam ingatan warga Jabodetabek, khususnya Tangerang, bagaimana sebuah rumah bersejarah di Karawaci “dimutilasi”. Bangunan dari awal abad 18 milik Oei Djie San bergaya Indische dan China itu kini jadi resto siap saji khusus burger. Kasus serupa terjadi sejak Indonesia merdeka. Di Jakarta saja, tak terhitung jumlahnya.
Dalam urusan pelestarian pusaka budaya, kota-kota di negara maju - bahkan kota-kota di Indonesia yang sadar diri sebagai Kota Pusaka - sudah mulai memikirkan dan mempraktikkan adaptive reuse (memfungsikan kembali) pada bangunan bersejarah dan bukannya menghancurkan (demolition). Negara maju jelas sudah lebih melek soal pelestarian heritage. Bukan hanya mempertahankan bangunan, dengan adaptive reuse pemerintah dan warga juga akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi.
Jadi apapun bangunannya, apapun sejarah di balik bangunan itu, apalagi jika terbengkalai, usaha memugar dan memfungsikan kembali bangunan terkait merupakan sebuah usaha pembangunan yang positif. Pasalnya, dengan menghancurkan bangunan bersejarah, kita ikut menghancurkan identitas, karakter, dan sejarah kota.
sumber : Kompas
0 komentar: