Menonton Opera di (GKJ) Schouwburg
>> Jumat, 22 Januari 2010
"DEKORASI teater ini sungguh luar biasa untuk pe-hobi teater. Kostumnya juga sesuai dengan iklim panas, sungguh sesuatu yang enak dipandang. Orkestra pun terlihat komplet. Para pemain terlihat piawai meski kadang membebaskan diri dari peran mereka, yang lain cukup memperlihatkan bahwa mereka hanyalah pencinta teater. Bagaimanapun, tak bisa dihindari, para pemain pria harus memerankan perempuan...."
Kira-kira demikian pendapat seorang dokter yang biasa bertugas di kapal, dr Strehler, yang pada 1828 berkunjung ke Batavia. Ia menyempatkan menghibur diri di Stadsschouwburg atau Komedie Gebouw atau kemudian menjadi Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Sebelum kedatangan Thomas Stamford Raffles, dalam hal ini tentara Inggris, Batavia tak memiliki gedung kesenian. Akhirnya, tentara yang bosan dan biasa dijejali penampilan teater di negaranya membangun sebuah teater sangat sederhana dari bambu. Itu terjadi pada tahun 1814 di area yang kemudian disebut Waterlooplein. Sayangnya, Inggris tak bertahan lama di Batavia, Hindia Belanda. Pada 1816, saat Belanda kembali, gedung ini tetap digunakan sebagai gedung teater dengan penampilan pertama pada 21 April 1817.
Pemerintah Belanda kemudian sadar, ada banyak penampil yang perlu dipentaskan. Tentu gedung teater dari bambu itu tak layak. Maka dari itu, pemerintah pun mendonasikan sebidang tanah di ujung jalan yang kemudian menjadi Post Weg (Jalan Pos) dan Komedie Buurt (Jalan Gedung Kesenian). Tak hanya itu, pemerintah juga menyiapkan dana sebesar 9.000 gulden untuk membangun gedung kesenian yang lebih layak. Dana itu belum ditambah dari urunan warga sebesar 43.600 gulden.
Kontraktor Tionghoa dipilih untuk membangun gedung teater senilai 22.000 gulden. Interior gedung tersebut menyedot 36.000 gulden. Ada kekurangan 6.000 gulden yang tertutup melalui pinjaman, demikian ditulis Scott Merrillees dalam Batavia in Nineteenth Century Photographs.
Gedung teater (Schouwburg) Batavia yang baru siap digunakan pada Oktober 1821. Pada saat bersamaan, Batavia masih mengalami wabah kolera yang dimulai sekitar Mei. Namun, minat seni dan kesenian tak bisa menunggu, maka Othello karya Shakespeare pun tetap dimainkan pada 7 Desember 1821. Pertunjukan itu merupakan pentas pertama di Schouwburg.
Seperti kata dr Strehler, pemain pria terpaksa memainkan peran sebagai perempuan, itu memang terjadi karena bangsa Eropa di Hindia Belanda memang lebih banyak pria. Bahasa yang digunakan juga bahasa Eropa. Maka sungguh sulit mencari pemain lokal perempuan yang sanggup menggunakan bahasa tak hanya Belanda dan atau Inggris.
Kedatangan rombongan teater Perancis pada 1835 ke Batavia dengan aktris yang sesungguhnya membuat sukses pertama yang selalu dikenang. Minard, sang pemimpin teater Perancis, bahkan kembali lagi setahun kemudian. Kali ini ia menawarkan opera pada warga Batavia. Tentu saja opera itu sukses besar. Hal itu seperti memberi pertanda kuatnya pengaruh Perancis dalam kehidupan warga di Batavia sepanjang abad ke-19.
Meski demikian, gedung teater ini kemudian juga mengalami kesulitan pada 1848 dan terulang lagi pada 1892, ketika waktu itu tak ada pemasukan yang layak sehingga pemerintah mengambil alih manajemen Schouwburg. Pada 1911, Pemerintah Kota Batavia mengambil alih manajemen gedung teater tersebut.
Di abad ke-20, gedung teater itu mengalami banyak perubahan, termasuk pernah menjadi bioskop khusus untuk film China dan masa-masa terbengkalai saat dibiarkan rusak sampai akhirnya dipugar pada 1980-an. Fungsinya dikembalikan menjadi gedung teater, gedung kesenian pada 1986, kemudian dikenal dengan nama Gedung Kesenian.
Pada gedung yang pada hari Kamis (21/1/2010) dihebohkan terbakar, sudah tak ada lagi patung di bawah bidang lengkung antar-dinding. Untung saja, kecelakaan kemarin cepat tertangani. Meski korsleting dari blower AC bisa segera ditangani, bisa saja gedung ini hangus atau rusak jika pengamanan gedung ini dilakukan ala kadarnya.
0 komentar: